My Writing 2

-- 1 --

Pagi ini terasa berbeda dari biasanya. Sepertinya matahari bersinar lebih cerah dua kali lipat. Angin lembut yang masuk dari jendela kamar juga lebih lembut. Suasana kos pagi ini juga lebih damai, tidak terdengar ramai seperti hari-hari biasanya. Judith membuka mata dan melirik ke arah jam weker di atas meja. Gadis 19 tahun itu menutupkan selimut kembali ke wajahnya dan membukanya lagi dengan menambahkan segaris senyuman pada wajah manis itu.

"Ethan,,," gumamnya sambil menatap langit-langit.

Lalu secepat kilat dia bangun, merapikan tempat tidurnya dan menuju kamar mandi. Terdengar pintu diketuk saat Judith sedang berganti pakaian.

"Tunggu!" serunya pada si tamu.

"Hari ini mau kemana, Non?" tanya Hana, bestfriend-nya sejak TK sambil membuka pintu tanpa mengacuhkan seruan Judith.

Judith terlalu terbiasa dengan itu. Jadi dia membiarkan saja Hana melakukan itu.

"Mau ke cafe, kan ak udah cerita, aku mau ketemu Ethan hari ini."

"O, iya. Teman chatting mu itu kan? Aku ikut dong? Ya?"

"Mau ngapain ikut? Nanti kamu malah ganggu lagi," Judith pura-pura kesal.

"Eh, Non! Ketemu teman chatting itu harus hati-hati. Harus bawa teman. Kalau ternyata dia orang jahat gimana? Terus kamu di culik gimana?" Hana melancarkan rayuan.

Bukannya Judith tidak ingin temannya itu ikut, tapi ini Ethan. Cowok yang sudah 1 bulan ini jadi teman chattingnya yang begitu nyambung dengan dia. Judith bukan gadis yang pintar bergaul seperti Hana yang mempunyai banyak teman. Kebanyakan teman Judith adalah teman Hana. Karena itulah dia ingin Ethan benar-benar jadi miliknya sendiri. Kalau bisa jadi pacarnya. Walaupun Judith tahu bahwa soal itu akan diputuskannya kalau sudah bertemu Ethan. Hana terlalu gampang nyambung dengan semua orang, meskipun baru pertama kali bertemu. 

Kalau mau jujur, sebenarnya Judith iri dengan kemampuan Hana itu, sejak dari TK. Hana selalu mendapat apa yang dia inginkan, teman, perhatian guru, perhatian orang-orang yang ditemuinya. Selain itu, sahabatnya juga mempunyai kulit putih mulus dan rambut lurus berkilau yang menambah kecantikan yang diturunkan Mamanya.

Sangat berbeda dengan Judith. Judith mempunyai rambut panjang lurus namun ikal di ujungnya, yang teman-temannya bilang sangat cute. Kulitnya sawo matang yang sebenarnya membuat gadis itu terlihat manis. Apalagi kedua lesung pipinya yang muncul saat dia bicara maupun tersenyum, sangat menarik dan tidak membosankan dilihat. Namun, Gadis itu sedikit tidak percaya diri. Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hana. Hana yang cantik dan pintar. Sedangkan dia harus belajar siang malam supaya bisa sepintar Hana. Kadang dia berharap, ada bintang jatuh sehingga dia bisa membuat satu keinginan; memiliki kecerdasan alami seperti Hana, belajar sekali dan langsung mengerti, membaca sekali dan ingat, supaya dia punya banyak waktu juga bergaul dan bermain-main seperti Hana.

"Oke, kamu boleh ikut," akhirnya Judith memutuskan setelah berpikir, "sana cepat mandi!"

Lalu Hana segera bergegas keluar dari kamarnya dengan senyum puas.


-- 2 --

Kedua cewek itu sudah berdandan rapi dan wangi. Hana dengan dress-nya yang lucu dan Judith dengan celana jeans hitam dan kemeja warna peach-nya yang menonjolkan warna kulitnya.

"Kamu bilang mau duduk dimana?" Hana berjalan masuk cafe mengikuti Judith.

"Aku ga bilang, aku cuma bilang mau pakai baju warna apa," Judith menjawab santai menyembunyikan ketegangan yang bergemuruh di dadanya.

"Lagian, chatting ga tukeran foto ato nomor HP ato apa gitu," Hana ikut duduk disamping Judith. Akhirnya mereka memilih meja paling pojok supaya Judith bisa melihat pintu masuk. 

"Ga seru tau, kalau gini kan seru, penasaran gimana gitu," Judith menjawab sambil tertawa sedikit.

Hana memandang temannya itu dengan heran. "Terus kalau ternyata dia sudah kakek-kakek gimana? Mampus, kan?"

"Ssstt! Diam dulu Na," Judith menutupkan tanganya ke mulut Hana.

Hana ingin memberontak dan mulai berkata-kata lagi. Namun, seorang pelayang mendekat dan menanyakan pesanan mereka. Setelah pesanan datang mereka mulai mengamati seisi cafe.

"Kira-kira mana orangnya? Udah datang belum ya?" Hana cengar-cengir mengawasi sekelilingnya.

Judith menikmati jus jeruknya, sambil melihat orang-orang di kafe itu juga. "Semoga dia tidak mengecewakan," Judith bergumam lirih sambil membayangkan kalau Ethan itu om-om, bapak-bapak, kakek-kakek, hiiii...

"Siang? Judith?" Seorang cowok berbadan tegap dan tinggi menatap Hana dan Judith bergantian.

Seperti reflek, Judith mengangkat tanganya, "saya,," jawabnya pelan.

"Ethan ya?" tanya Hana dan cowok itu mengangguk. Hana  memamerkan senyum cerahnya. Lalu dia berdiri dan bersalaman dengan cowok itu. "Wah, akhirnya datang juga, udah ditungguin dari tadi," suara Hana begitu ceria menyambut.

Sedangkan Judith hanya terdiam menyedot jus jeruk ditangannya dan melihat ke arah mereka berdua. Ethan duduk di kursi yang berseberangan dengan Judith, lalu dia memandang Judith.

"Jadi, yang mana nih yang namanya Judith?" Ethan bertanya, masih melihat Judith yang menghabiskan jus jeruknya.

Judith merasakan tidak ada lagi yang bisa dia sedot dari dalam gelas yang dipegangnya. Dia meletakkan gelas itu di meja dan berusaha menguasai dirinya.

"Hmmm.." dia berdehem dan "aku Judith," dia menyalami Ethan, "dan ini, Hana, teman yang sering aku ceritakan ke kamu."

"Apa? Aku jadi bahan obrolan kalian?" Hana melotot menunjukkan ekspresi pura-pura terkejut. Tentu saja dia tahu bahwa Judith akan menceritakan dirinya.

Ethan terlihat kaget, namun kemudian ikut tertawa bersama kedua cewek itu. Semakin waktu berlalu, semakin renyah pula obrolan mereka. Mereka di sini adalah Ethan dan Hana. Sedangkan Judith hanya sesekali menimpali dan ikut tertawa. Seperti yang dia takutkan, Hana lah yang mendominasi percakapan ini. Hana pintar sekali mencari topik pembicaraan. Bukannya Judith tidak bisa, dia hanya takut kalau topiknya tidak akan berakhir menyenangkan seperti yang Hana. Setiap saat selalu begitu.

Perasaannya berubah menjadi cemburu. Dia menyadari sepertinya dia menyukai Ethan. Menyukai bukan mencintai baginya. Dia menyukai cowok itu dan dia ingin bisa berteman baik dengannya. Tapi sekarang yang dia lihat, Hana lah yang akan berteman baik dengannya. Entah kenapa dia tiba-tiba berdiri.

Ethan dan Hana bersamaan memandangnya.
"Mau kemana?" tanya Hana pendek.

Judith berpikir cepat,"Um, Ethan,,,soriiii banget nih aku harus pergi," katanya sambil memandang Ethan, "Hana, tolong temeni Ethan, ya?" pandangannya beralih ke Hana.

"Emang mau kemana sih?" tanya Ethan heran.

"Aku lupa, aku ada tutoring jam 3, maaf banget ya," kata Judith dengan wajah menyesal.

"Oh, gitu,,,ya udah gapapa kalau emang harus pergi, tapi besok-besok masih bisa ketemu kan?" bola mata Ethan yang berwarna coklat memandang Judith.

"Iya, bisa kok," Judith menyembunyikan kegugupannya, "aku pergi ya guys, daaa..." Judith melambaikan tangannya sambil melangkah meninggalkan tempat itu.

Hana memandanginya sambil berpikir keras, "kayaknya dia udah ngosongin semua jadwal deh," gumamnya.

"Emang tutoring apa sih?" pertanyaan Ethan mengalihkan perhatian Hana.

"Oh, tutoring mahasiswa yang nilainya kurang, gitu. Lumayan sih gajinya bisa buat uang jajan," jawab Judith sambil tersenyum, cantik sekali. Ethan memandangnya dengan kagum. Ya, kalau sampai Ethan tidak terpesona dengan senyum itu, pasti ada yang salah dengannya.

"Nonton yuk? Ada referensi film bagus ga?" tanya Ethan lagi.

"Um, boleh deh. Aku juga ga tau sih. Tapi kita coba lihat dulu aja, gimana?"

Ethan mengangguk dan mereka pun beranjak meninggalkan cafe.

-- 3 --

Judith masuk ke perpustakaan seperti biasa kalau dia ada tutoring. Namun, sebenarnya dia tidak ada jadwal hari ini. Dia memang telah mengosongkan semua jadwal demi Ethan. Dia duduk di meja baca tanpa mengambil sebuah buku. Dia terdiam memandangi jendela didepannya. Tempat ini lebih baik daripada cafe. Dia tidak bisa tahan lebih lama melihat betapa Hana begitu akrab dengan Ethan, calon sahabatnya.

"Judith?" suara seorang cowok membuatnya menoleh. Ternyata Billy, teman satu angkatannya dan sekaligus mahasiswa tutoringnya. Billy memang agak kesulitan dalam beberapa mata kuliah, makanya meskipun sama-sama mahasiswa tahun ke dua, Billy masih memakai jasa Judith untuk menaikkan nilainya. 

"Eh, Billy," Judith sedikit kaget. Billy seharusnya mendapat bimbingannya sore ini.

"Katanya ada acara kok malah di sini sih?" tanya Billy penasaran.

Dengan terbata-bata Judith menjawabnya, "Em, iya sih," dia menggembungkan pipinya, memikirkan jawaban. "Acaranya ternyata selesai lebih cepat," dia tersenyum, dia tahu alasannya pasti tidak akan membuat Billy bertanya lagi.

"Oh, gitu. Wah, bisa dong tutoringnya?" Billy berharap.

"Aduh Bil, besok lagi aja deh. Aku lagi ga bisa," tolak Judith.

Billy duduk disampingnya, "ya udah, makan aja yuk?"

"Um, kemana? Boleh deh," Judith ingat dia belum makan sejak tadi pagi dan tadi di cafe dia juga belum sempat pesan makan.

"Oke, ikut aja. Ini cafe baru, punya kakakku. Sekalian promosiin," Billy berdiri dan melangkah.

"Gratis dong Bil? Kan promosi?" Judith melangkah mengikutinya.

"Itu gampang, bisa diatur," sahut Billy enteng.

Billy dan Judith masuk ke sebuah tempat makan bernuansa es krim. Di kanan kiri pintu masuknya sudah ada dua tiang es krim besar, belum lagi ketika masuk ke ruangan, gambar-gambar es krim menggugah selera menghiasi dinding-dindingnya. Semua kursi dan meja berwarna cerah dan membuat kesan ceria tempat itu.

"Bil? Ini cafe untuk anak-anak, ya?" tanya Judith sambil melihat sekeliling.

Billy tertawa, "iya, memang sih targetnya ini jadi cafe remaja dan keluarga. Tapi kayaknya kamu lagi bad mood gitu, jadi aku kepikiran bawa kamu ke sini. Ceria banget kan suasananya?"

Judith duduk disalah satu kursi berwarna ungu, "iya, sih. Enak nih tempatnya, ceria, terang, terus kayaknya es krimnya enak-enak."

"Kamu pesen apa aja yang kamu mau, aku yang traktir," kata Billy sambil membolak-balik menu yang baru saja diberikan pelayan dan memilih pesanannya.

Judith kelihatan bingung dengan menu ditangannya, "mbak, aku pesen yang paling spesial dan paling banyak porsinya, ya," dia akhirnya memutuskan.

"Es krim datang!" Billy menyambut si pelayan yang membawa dua mangkuk es krim, besar dan kecil. Pelayang memberikan mangkuk besar untuk Judith dan yang kecil untuk Billy.

"Wah, kamu kecil-kecil makannya banyak juga, Dith," Billy mengolok Judith.

"Emang," Judith mencibir, "traktir lho ya?"

"Iya, beres," kata Billy, "emang kenapa sih kok kamu bad mood? Emang acara apa tadi?"

"Udah kayak wartawan aja Bil," Judith berkata tanpa melihat Billy, lalu dia menyuapkan sesendok penuh es krim ke mulutnya.

"Ya, kalau boleh tahu aja sih, " jawab Billy santai, "Sebenarnya aku seneng sih libur tutoring hari ini. Soalnya sepupuku datang ke Bandung hari ini."

"O, ya? Terus kenapa kamu malah makan es krim di sini?"

"Nah, itu dia! Sepupuku itu bela-belain dari Jakarta ke sini cuma mau ketemu sama cewek yang dia kenal lewat chatting," jawaban Billy membuat Judith tersedak.

"Dith, kamu kenapa? Ini minum dulu," Billy menyodorkan segelas air putih.

Judith minum dan berusaha menghentikan batuk-batuk kecilnya. Setelah Judith agak tenang, Billy melanjutkan ceritanya.

"Sepupuku itu penasaran banget sama tu cewek. Katanya, tu cewek asik banget diajak ngobrol, pintar terus nyambung banget. Padahal dia belum tahu cewek itu kayak gimana." Billy berhenti karena menyuapkan es krim ke mulutnya, lalu dia mulai lagi, "tadinya aku mau temenin dia, tapi dianya ga mau. Terus, aku antar aja ke cafe tempat mereka janjian, terus aku ke kampus, eh malah ketemu kamu,"

Judith melongo melihat Billy. Kali ini bukan karena kecerewetan Billy, tapi karena ceritanya.

"Nama sepupu kamu siapa?" tanyanya lirih.

"Ethan," jawab Billy cuek sambil menghabiskan es krim di mangkuknya.

Judith tersedak lagi dan air putih jatahnya Billy di minumnya sampai habis.

"Kamu kenapa sih?" Billy terheran-heran.

"Aku mau pulang sekarang," Judith berdiri mengambil tasnya dan meninggalkan Billy yang bingung.

"Dith! Tunggu dong," Billy mengejar Judith, "aku antar ya? tunggu di sini, aku bayar dulu." Lalu Billy ke kasir dan membayar dengan cepat lalu kembali ke Judith.

Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam di dalam mobil. Judith bimbang, apakah dia harus bercerita pada Billy atau tidak. Setelah hampir sepuluh menit berpikir, akhirnya Judith memutuskan untuk mengatakan semuanya. Tidak! Tidak semua, tidak pada bagian dia cemburu karena merasa Hana merebut calon sahabatnya.

"Apa??" Billy menginjak rem tiba-tiba dan hampir membuat tabrakan beruntun.

"Bil, hati-hati dong!" seru Judith, tapi Billy mengabaikannya.

"Jadi, kamu cewek yang mau ditemui Ethan?? Serius??" Billy tertawa keras dan lama sekali. Judith hanya diam saja menunggunya berhenti menertawakannya.

"Terus kamu ngapain tadi di perpustakaan bengong? Bukannya harusnya kamu sama Ethan sekarang? Dia barusan  sms minta dijemput di depan mall. Katanya habis nonton? Eh, berarti dia nonton sama siapa dong?" Billy nyerocos lagi setelah selesai tertawa.

"Bil, kamu itu ga pernah bisa diam ya?" Judith menatapnya sebal kali ini.

Billy tidak mempedulikannya. Matanya berkonsentrasi ke jalan namun otaknya berpikir siapakah teman nonton Ethan dan apa yang terjadi sebenarnya antara Ethan dan Judith.


-- 4 --

Anak-anak kos sudah masuk ke dalam kamar semua. Judith melihat jam ditangan kirinya, jarumnya menunjukkan pukul 22.00. Dia menyapa beberapa anak kos di ruang TV dan dapur yang dilewatinya sebelum naik tangga. Kamarnya memang dilantai dua, kamar favorit. Bahkan sudah ada yang memesan kamar itu nanti kalau Judith lulus, dia akan pindah disitu. Jadi, dia harus menunggu dua tahun lagi. Kamar itu sebenarnya sama dengan kamar lain, hanya saja jendelanya menghadap jalan dan sinar matahari bebas masuk ke dalam ruangan.

Cewek itu masuk kamar dan menutup pintunya, lalu melemparkan tasnya sembarangan lalu menghambur ke kasurnya yang empuk. Dia membenamkan wajahnya dalam-dalam di atas bantal dan mendongak untuk mengambil nafas. Lalu mengulangi hal itu lagi sampai berkali-kali.

Saat dia membenamkan wajahnya untuk yang ke sekian kalinya, pintu kamarnya terbuka, dan Hana masuk dengan suaranya yang ceria.

"Kenapa tadi pergi sih, Dith?," Hana bertanya namun tidak benar-benar ingin tahu jawabannya karena detik selanjutnya dia mulai bicara tanpa bisa dihentikan lagi. 

"Dith, ak senang banget. Ethan itu baik banget, udah gitu dia asik banget. Tadi kita ngobrol, nonton, terus jalan-jalan. Tahu ga? Dia mau lho nemenin aku belanja baju," Hana menunjukkan hasil belanja yang masih dipegangnya. "Terus tadi dia  juga cerita banyak tentang chatting kalian, udah gitu, dia ngelihatin aku terus kalau aku lagi cerita. Jadi aku merasa di dengerin gitu lho, Dith. Um,,,kayaknya aku jatuh cinta deh Dith," Hana tersenyum-senyum. 

Namun, akhirnya dia menyadari kalau Judith tidak merespon apapun sejak tadi. "Dith, Kamu kenapa sih?"

Judith semakin membenamkan wajahnya ke bantal, "aku capek Na, mau tidur," suaranya teredam oleh bantal.

"Ah, kamu ga asik ah. Temannya lagi jatuh cinta juga," kata Hana sambil berdiri dan mendekati pintu,"Makasih ya, udah ngajakin aku tadi ketemuan sama Ethan," Kalimat terakhir Hana sebelum menutup pintu.

Oh, God! Hana jatuh cinta sama Ethan?
Judith berteriak dalam kepalanya. Cewek itu mengangkat kepalanya dan mengambil nafas banyak-banyak. Handphone-nya berbunyi.

Dengan malas dia bangkit dan mendekati tasnya yang tergeletak di lantai. Judith mengambil handphone dari dalam tasnya, nomor baru, siapa? pikirnya.

"Hallo,ini siapa" Judith menerima panggilan itu.

"Hallo, Judith?" suara cowok terdengar menjawab, "ini Ethan, aku dapat nomor kamu dari Billy. Ternyata kamu teman Billy?"

"Ethan?" Judith hanya mengatakan itu sebagai respon.

"Tadi aku sama Hana jalan-jalan, kapan-kapan kamu bisa ikut ya? kan, aku kesini buat ketemu kamu,"

Judith tidak menjawab. Dia Bingung.

"Halo? Judith?"

"Eh, iya? Iya, nanti aku bisa ikut, kita jalan sama-sama"

"Nah, gitu dong,"

Judith tertawa kecil.

"Dith,,," suara Ethan melembut.

"Iya?"

"Kamu manis banget tadi," Ethan berhenti sejenak, "Aku suka senyum kamu, hanya saja kamu jarang banget tersenyum tadi. Nanti kalau ketemu lagi, janji ya, harus banyak tersenyum?"

Judith ingin sekali berkata supaya Ethan mengulangi semua kata-katanya tadi. Belum pernah seorang pun memujinya seperti itu. Apalagi ini cowok.

"Um, iya,,,makasih," jawabnya gugup.

"Ya udah, capek banget hari ini. Aku mau istirahat dulu, kamu juga ya, istirahat," Ethan masih berkata dengan lembut.

Judith merasa senang sekali. Ini sangat berbeda dengan chatting. Dichatting Ethan selalu mengetik semua itu, tapi kalimat say goodnight langsung dari mulut Ethan terasa begitu mendamaikan hati Judith. Seakan-akan dia akan tidur dengan sangat lelap malam ini dan bangun dengan stamina dua kali lipat besok pagi.

"Oke, thanks Ethan, goodnight,," kata Judith
"Goodnight, Judith,,," dan telepon pun ditutup Ethan.

-- 4 --

"Oke, kayaknya hari ini cukup dulu ya Bill, " kata Judith sambil menutup buku dan mengemasi barang-barangnya. Billy mengiyakan dan dua menit kemudian mereka keluar dari perpustakaan.

"Dith, habis ini mau kemana? masih ada tutoring lagi?" tanya Billy.

"Ga ada lagi sih," Judith mengambil handphone ditasnya lalu melihat jam. Pada saat yang bersamaan handphone Billy berbunyi. Billy menjauh untuk menerima telepon sambil memberi isyarat Judith untuk menunggunya. Judith mengotak-atik handphone-nya sembari sesekali melihat ke arah Billy yang kelihatan serius menerima teleponnya.

"Makan yuk?" kata Billy sambil mengantongi handphone-nya dan berjalan mendekati Judith.

"Lama banget sih teleponnya," kata Judith, "aku mau ke toko buku aja deh, ada novel baru yang aku mau beli."

"Sori deh, telepon penting soalnya," jawab billy lalu mengambil handphone-nya dan mengetik sms ke seseorang.

"Oke deh, Bill, kita pisah di sini ya?"

Mereka sampai di halaman parkir kampus.

"Sip," Billy tersenyum, "thank you ya tutoringnya, sori nih ga bisa nemenin ke toko buku."

"Ah, ga masalah," Judith tersenyum sambil memakai helmnya, "duluan ya Bill?"

Billy melambaikan tangannya sambil melihat Judith yang mengendarai motor meninggalkannya. Lalu dia menelepon lagi.




No comments:

Post a Comment