My Writing

SATU


Dari tadi sore Kalena masih mencoba berkonsentrasi pada layar komputer di depannya. Sudah hampir satu jam dia belum menuliskan bahkan satu huruf pun di lembar Microsoft Word yang dia buka. Cewek ini sedang memikirkan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih penting dari tugas kuliahnya, paling tidak untuk saat ini. Sesuatu itu adalah hari Senin. Ya! Bagaimana dia akan menghadapi hari Senin yang adalah besok pagi? Bagaimana dia akan bertemu dengan Endi, si dosen pengganti yang adalah mantan pacarnya? Apa yang harus dia katakan? Apakah dia harus terus memperhatikan cowok itu mengajar seperti dia memperhatikan dosen-dosennya? Apakah mata mereka akan bertemu pandang? Apakah dia akan menunduk ataukah tersenyum atau mungkin tidak berekspresi kalau itu terjadi? Apakah dia harus berdandan lebih ataukah biasa saja? Apakah dia harus memakai baju yang dibelikan Endi? Apakah Endi masih mengingat itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di dalam kepala Kalena. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dan satu tangannya menopang kepalanya. Ah! Dia benar-benar dipusingkan oleh hal itu.

Pintu kamar Kalena terbuka, membuat cewek itu bergerak setelah sekian lama terpaku duduk di depan meja. Adik mungilnya, Kei, menghampiri dengan rambut acak-acak khas bangun tidur sambil memeluk boneka Pooh-nya.

"Kei? sudah bangun?"
"Mama mana, Kak?" tanya Kei sambil naik ke pangkuan Kalena.
"Oh, Mama lagi pergi sebentar. Kei mau minum susu ya? Ya udah, yuk, Kak Lena buatin," Kalena mengangkat Kei dalam gendongannya. "Aduh, udah TK kok masih minta di gendong, sih..." Kalena membenamkan hidungnya di pipi lembut adiknya.
Kei hanya membiarkan kakaknya melakukan itu tanpa banyak respon. Dia masih belum sadar sepenuhnya setelah tidur siangnya. Sampai di dapur Kalena mendudukkan Kei di kursi agar leluasa membuatkan minuman wajib dan favorit adiknya itu. Sambil memandanginya pooh-nya Kei bicara lirih, "Kak, tadi di sekolah Kei ketemu sama Kak Endi lho. Soalnya Kak Endi jemput Tara. Kok Kak Endi nggak pernah main ke sini lagi sih?"
Kalena berhenti sebentar menuang air ke dalam botol susu. Lalu dia menanggapi adiknya, "Kak Endi itu baru pulang dari luar negeri, makanya kemarin-kemarin nggak bisa main ke sini. Memangnya Tara nggak cerita sama Kei?"
Adiknya hanya menggeleng dan segera menikmati susu yang selesai di siapkan kakaknya. Kemudian dia turun dari kursi dan menemukan posisi kesukaannya, di sofa depan tv. Kalena yang mengikutinya juga ikut duduk disampingnya.

Dua tahun lalu, sehari sebelum kuliah hari pertama, Kalena mengantar adiknya masuk sekolah bersama mama dan papa. Hari pertama untuk Kei, jadi semua orang di rumah ingin mengantar cewek kecil itu. Setelah Kei masuk ke dalam kelas tanpa rasa takut sedikitpun seperti beberapa anak lain yang bahkan sampai menangis, mama bertemu dengan temannya, Tante Jeni, yang ternyata juga mengantar anak ketiganya masuk sekolah di kelas yang sama dengan Kei. Tante Jeni lah yang kemudian mengenalkan Endi, yang ternyata satu kampus dengan Kalena, ya meskipun Endi adalah mahasiswa tahun terakhir yang sedang menyusun skripsi dan Kalena baru saja menjadi mahasiswa. 

Itulah awal kisah mereka. Satu bulan kemudian mereka jadian dan mulai menjalani hari-hari bahagia. Kalena begitu menyukai Endi bahkan dia sangat mengagumi dan menyayangi cowok itu. Endi, mungkin tidak tampan, tapi dia selalu rapi, bersih, dan wangi. Dia juga punya otak yang cemerlang. Dia mendapat beberapa macam beasiswa karena prestasinya. Selain itu di juga pribadi yang hangat, tenang, dan selalu ada untuk Kalena. 

Setelah enam bulan jalan, Endi menyelesaikan kuliah S1-nya dan dia mendapat beasiswa S2 ke Australia. Kalena begitu terkejut mendengar keputusan Endi untuk menerima beasiswa itu. Bagaimana mungkin dia tiba-tiba harus ditinggal orang yang sangat penting untuk hari-harinya? Namun, Endi berjanji meskipun mereka long distance, tidak akan ada yang berubah. Kalena juga tidak mau dibilang egois dengan melarang Endi pergi dan entah kenapa dia malah memutuskan hubungan itu. Kalena tahu Endi sedih dengan keputusan itu, tapi bagi Endi pendidikan selalu di atas semua. Jadi, Kalena pun berpikir ini yang terbaik untuk mereka berdua, toh dia sudah berpikir tidak akan tahan dengan hubungan jarak jauh.

Dan sekarang, tanpa Kalena duga Endi menyelesaikan pendidikan lebih cepat, kembali ke Indonesia, bahkan menjadi dosen di kampusnya dan besok akan menjadi dosennya. Berita itu di bawa mamanya tadi pagi waktu sarapan sekeluarga. Mamanya bercerita dengan penuh semangat sambil melirik ke arahnya untuk menunggu respon, begitu juga dengan papa. Namun, bagi Kalena, itu semua hanya membuatnya mengatupkan bibir rapat-rapat. Mamanya kemudian dengan sengaja mengalihkan pembicaraan.




DUA

Setelah berpikir semalaman, Kalena akhirnya menyelesaikan dua hal. Pertama, tugasnya. Kedua, baju yang akan dia pakai. Sekarang di berdiri di depan cermin dengan kemeja putih dengan aksen bunga-bunga kecil di kerah dan celana jeans coklat gelap. Dia juga berdandan seperti biasa dan berkata berkali-kali pada dirinya sendiri bahwa ini hari biasa, tidak ada yang spesial, tidak dengan Endi juga. Endi adalah dosennya, seperti dosen-dosen yang lain. Hampir setahun ini dia bisa mengatasi perasaan sedih, sepi dan kecewa karena berakhirnya hubungannya dengan Endi, jadi, dia meyakinkan diri, kali ini dia juga pasti bisa menghadapi Endi.

Kalena menuruni tangga dan menuju ruang makan. Disana mama, papa dan kei sudah menunggu.
"Pagi, Sayang," mama menyapanya.
"Pagi Ma, Pa," balasnya sambil duduk disamping mama, "Kei? Siapa yang kuncir itu rambutnya?" mata Kalena terbelalak melihat rambut panjang adiknya penuh dengan jepit dan pita. 
Mama menyenggol Kalena pelan sebagai isyarat.
"Oh, sekarang Kei bisa kuncir sendiri ya?" Kalena menahan tawa melihat adiknya itu.
"Iya, kata Miss-nya Kei, Kei harus bisa melakukan semua sendiri, jadi mama nggak capek," jawabnya polos sambil menggigit roti.
"Anak Papa ini, tambah pintar ya..." kata Papa memuji Kei sambil mencubit pipi Kei dengan lembut.
"Kakak mau ikut mobil Papa atau Mama?" tanya mama.
"Naik bis aja deh, Ma."
"Oke, kalau gitu sarapannya harus tambah lagi," mama menambahkan lagi nasi goreng ke piring Kalena. Cewek itu tidak protes seperti biasanya. Dia cukup senang mama dan papanya tidak menyinggung soal Endi pagi ini.

Kampus belum terlalu ramai, meskipun sudah hampir jam 8. Kalena sedikit berlari menuju ruang kuliahnya. Pintu ruangan sudah terbuka dan Kalena masuk. Tersenyum melewati teman-temannya, dia memilih tempat duduk di belakang.

"Tumben duduk belakang?" Dena teman Kalena sejak semester satu berdiri dari kursinya dan duduk disamping Kalena.
"Aku kan udah cerita sama kamu Den," Kalena berkata sambil mengeluarkan buku-bukunya.
Dena menepuk jidatnya sendiri, "oh, iya!" cewek berpipi tembem dan berambut pendek itu mendekatkan mata beningnya ke wajah Kalena. "Kamu deg-degan? Kamu gimana perasaannya? Ciiee.."
"Dena, apaan sih?" Kalena memandang sahabatnya dengan sedikit kesal. Seharusnya Dena tahu perasaannya sedang kacau pagi ini. Dia akan bertemu mantan yang masih sangat disayanginya dan bahkan ada sedikit harapan setelah pertemuan kali ini, Endi dan dirinya akan bertemu lagi selain di ruang kuliah.

Mahasiswa lain mulai berdatangan. Jam 8.00, pintu ditutup seseorang yang terakhir masuk ke ruangan itu. Kalena mengambil sebuah buku di depannya, membukanya sembarangan dan menutupi mukanya. Dena melirik temannya itu dengan senyum kegirangan. Dena merasakan sesuatu yang menarik akan terjadi di kelas pagi ini.

Seseorang itu meletakkan buku-buku dan sebuah map di meja. Penampilannya begitu segar dan rapi.

"Pagi semua," dia berhenti sejenak menunggu respon atas sapaannya. "Perkenalkan nama saya Endi, saya dosen baru kalian menggantikan dosen sebelumnya yang mendapat beasiswa S3 ke Jerman." Dia berhenti lagi, menatap seisi ruangan. Para mahasiswa memandangnya dengan penuh ketertarikan. Jarang-jarang mereka mendapat dosen yang masih muda.
"Baiklah, sebagai awalnya, saya ingin tahu nama-nama kalian, jadi saya akan membaca daftar hadir ini dan nama yang saya baca, tolong angkat tangannya," Endi bicara dengan nada yang sangat profesional. Hal itu membuat Kalena semakin mendekatkan buku yang pura-pura dibacanya itu ke wajahnya. Dia semakin gugup. Apa yang akan terjadi ketika Endi menyebutkan namanya. Ekspresi apa yang akan dia tunjukkan. Ternyata mengontrol perasaannya tidak semudah kalo dia tidak bertemu langsung dengan Endi.

"Kalena Gizella," akhirnya Endi menyebutkan nama itu. Namun Kalena terlalu sibuk bersembunyi dan berpikir di balik bukunya. 

Dena menepuk lengan Kalena, "Kalena, nama kamu tuh."

"Apa?" jawab Kalena gugup hingga menjatuhkan buku perlindungannya.

"Kalena?" Endi menyebutkan namanya sekali lagi dan menatapnya sedikit lebih lama di banding ketika dia memanggil nama mahasiswa lain.

Kalena secara reflek mengangkat tangan. Otaknya kembali berpikir. Kenapa Endi menyebut namanya dengan nada itu? Apakah dia tidak mengenali dirinya lagi?

"Oke, Kalena, kamu jadi koordinator di kelas saya. Semua setuju?" Sekarang Endi mengalihkan pandangannya ke seluruh kelas. Terdengar suara mengiyakan dari para mahasiswa.

Kalena ingin protes dan menolak tugas itu, tapi bibirnya terkatup rapat sampai kuliah selesai. Lalu dia cepat-cepat meninggalkan ruangan. Bahkan Dena pun harus berlari-larian mengejarnya.



No comments:

Post a Comment